Hari ini tepat 40 hari semenjak umi dipanggil Illahi robbi. Ada sebuah rasa yang sulit aku ungkapkan. Sedih, jelas. Tapi ini lebih dari sekedar sedih. Sebuah rasa kehilangan yang teramat sangat kembali menyergap. Namun sebisa mungkin aku berusaha untuk tak menuruti perasaanku. Bukan, bukan aku ingin melupakan umi, justru aku merasa semakin dekat dengan umi. Sebuah kedekatan yang ‘aneh’, tak terlihat mata tapi dapat aku rasa.
Jika biasanya bertepatan dengan hari ke 40 meninggalnya seseorang, kemudian diadakan selamatan dengan membaca surat Yaasin dan tahlil, maka itu dilakukan di Kebumen ( baik di Meles maupun di Gombong ). Sedang di Tangerang, dengan berbagai pertimbangan tidak diadakan dengan mengundang tetangga dan kerabat. Hanya aku, abi, bulik Tari, lek Hu, Bude Okta, mas Fajar dan mas Okta yang berkumpul di kontrakan sempitku untuk membacakan Yaasin dan tahlil dilanjutkan doa khusus untuk almarhumah umi.
Semula, sempat muncul gagasan dari pakde Okta untuk mengundang tetangga karena saat awal umi meninggal, selama tujuh hari mereka datang untuk tahlilan bersama. Tapi usulan pakde kemudian dibatalkan karena dengan berbagai pertimbangan dan melihat kenyataan yang ada. Kemudian abi sempat mengusulkan untuk tahlilan keluarga sendiri dan mengundang satu orang ustadz untuk memimpin. Namun bude tidak setuju dengan usulan abi, pertimbangannya adalah justru nanti menarik perhatian tetangga. Dan yang disepakati adalah kami tahlilan dan membaca Yaasin bersama, hanya keluarga sendiri. Yang terpenting adalah doa dan ketulusan serta keikhalasan melakukannya. Dan, Alhamdulillah meski tidak besar abi tetap mengeluarkan sedekah atas nama umi.
Ya Allah, semoga umi bahagia di sisi Mu. Ya Allah, kasihilah ummi, juga aku dan abi .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar