Waktu berlalu sangat cepat, itu yang aku rasa. Seminggu sudah mba Endah dan Nisa liburan bersamaku. Dan Jum’at sore mbak Endah harus meninggalkan Tangerang menuju Cibitung, ke tempat mbak Menik. Di antar mas Azis, mbak Endah dibonceng motor. Jam setengah lima sore mereka berangkat dari rumah dan kalau tidak macet jam delapan malam mereka baru sampai di tempat mbak Menik. Di sana mbak Endah hanya bisa menginap semalam, karena malam minggunya mbak Endah harus sudah berada di tempat mbak Arum. Minggu pagi, mbak Endah dan keluarga Bude Arum akan pulang ke Kebumen menggunakan kereta api melalui stasiun Bekasi. Selamat jalan mbak Endah, hati-hati di jalan. Aku berharap, liburan depan kita bisa menghabiskannya bersama lagi.
Dua hari dari kepulangan mbak Endah, mbah putri dan Nisapun harus pulang ke Kebumen. Mbah kakung sudah berpesan agar paling telat Rabu pagi mereka harus sudah di rumah. Mereka harus beristirahat dengan cukup karena Jum’at pagi mereka akan segera ke Purwodadi, Semarang menghadiri hajatan keluarga dari mbah Kakung.
Diantar mas Okta, aku dan ummi membonceng motor menuju agen bus Sinar Jaya, tak jauh dari tempat tinggal kami. Mbah putri dan Nisa dibonceng abi. Sayang, sampai di sana bus sudah berangkat, dan semua penumpang yang tertinggal bisa menyusul di agen berikutnya yang terletak di dekat pintu tol Bitung. Untuk sampai disana, kami harus melewati jalan raya sehingga tak mungkin mas Okta yang mengantar, lagian tak satupun dari kami yang membawa helm. Mas Okta akhirnya pulang, memanggil mas Fajar sekaligus mengambilkan helm untuk kami. Tanpa tunggu lama-lama, kami segera meluncur ke agen di Bitung melalui jalur alternatif karena jalanan sore itu sudah macet.
Setelah melewati kemacetan yang lumayan panjang karena jalan sedang dilakukan perbaikan, akhirnya kami sampai di agen Bitung. Sebagian besar penumpang sudah memenuhi bus. Mbah putri dan Nisa termasuk penumpang yang terakhir naik. Sesuai dugaan, di sini Nisa tak bisa menahan sedihnya. Saat bersalaman, Nisa tak mau melepaskan tanganku dan juga tangan ummi. Dia merengek agar kami ikut, atau dia tidak jadi pulang sore itu. Dua pilihan yang tak mungkin dikabulkan.
Sebenarnya, bukan hanya Nisa yang sedih. Aku dan ummipun merasakan kesedihan yang sama. Untuk menghilangkan kesedihan, abi sengaja mengajak kami pulang lewat jalur alternatif, melewati pabrik obat tempat dulu abi kerja yang kini sedang dibangun tingkat sembilan, mirip dengan hotel.
Selamat mbah putri, Nisa. Sungguh sedih melepas kepergianmu, semoga kalian selamat sampai tujuan dan insya Allah lebaran nanti kami akan pulang, berkumpul bersama kalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar