Alhamdulillah, wa syukurilah, segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kecerdasan ini kepada putriku. Berungkali aku mengucap syukur ini dalam hati saat mengambil raport hari Sabtu kemarin.
Sejak pagi, Sabila sudah ragu apakah akan ikut ke sekolah mengambil raport bersamaku. Ummi, yang biasanya mengambil raport Sabila di sekolah, terpaksa tidak bisa mengambil karena sudah dua hari ini sedang tidak enak badan. Sampai pulang dari sholat Dzuhur di mushola, Sabila masih belum memastikan apakah akan ikut bersamaku ke sekolah. Kebetulan siang itu pembagian raport akan dimulai pukul 12.30 wib. Dan, keputusan terakhir, Sabila memilih bermain dengan Galuh, sementara aku pergi ke sekolahnya sendiri. Sebelum berangkat, aku menelpon pak Kirno – bapaknya Nia – untuk memastikan apakah dia jadi mengambil raport siang itu. Ternyata, dia dan istrinya sudah berada di sekolah saat itu. Akupun bergegas kesana.
“ Paling yang ranking satu Evi lagi!” kata bapaknya Galuh yang duduk di sebelahku
“ Ndak tahu juga, soalnya nilai ulangan bahasa Inggrisnya kemarin rendah “ jawabku harap-harap cemas. Jujur, aku berharap Evi Sabila akan ditulis di urutan pertama 10 besar nanti.
Saat yang dinanti-nantipun tiba. Bu Purwanti – wali kelas IV A – menuliskan peringkat sepuluh besar di papan tulis. Seperti wali murid lainnya, akupun berdebar-debar kala itu. Dan, kegelisahanku terjawab ketika bu guru menuliskan huruf E setelah angka 1. Tak salah lagi, dan semua wali muridpun mengerti kelanjutannya. Alhamdulillah, kembali anakku mendapatkan peringkat pertama. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Aku berusaha keras menekan luapan kegembiraanku. Aku tak ingin anugerah ini membuatku tinggi hati dan takabur. Bagaimanapun, anugerah ini juga sebuah amanah. Tak boleh sombong sedikitpun.
Dan, seperti sudah diduga sebelumnya, semua wali murid yang hadir menjadi maklum jika Evi Sabila kembali mendapat ranking satu. Tak ada suara, tak ada satupun yang mengungkapkan keterkejutannya. Sepi, bahkan tak satu dari merekapun yang mengucapkan kata selamat padaku. Ah, mengapa aku memikirkan ucapan dari mereka kepadaku? Segera kualihkan pikiranku. Aku tak boleh berpikiran negatif. Aku harus bersikap seperti biasa, sama seperti saat pertama kali datang siang itu, tak ada rasa angkuh. Tak boleh ! tegasku pada diriku sendiri.
Setelah berbasa-basi sedikit dengan Bu Guru, akupun segera meninggalkan kelas diikuti pandangan wali murid lainnya. Aku hanya sempat memberikan senyum dan mengangguk saat berpamitan kepada mereka. Sungguh, bukan karena rasa tinggi hati, tapi aku ingin segera memberitahukan kabar gembira ini pada putriku yang pasti sudah menungguku dengan perasaan cemas.
Selamat ya sayang. Abi dan juga ummi sangat bangga dengan prestasimu. Tapi ingat, kecerdasan ini sebuah anugerah sekaligus amanah yang akan diminta pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah. Jangan sekalipun merasa tinggi hati, merasa lebih dari yang lain. Teruslah semangat belajar, pergunakan kecerdasanmu, ilmumu di jalan Allah.
Soal hadiah? Sejauh ini kami belum memastikan hadiah apa untukmu. Tapi hadiah itu bukan yang utama, karena selalu ada cinta yang kami berikan untukmu.
Gambar diambil dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar